Menjadi Pelancong
Saat ini, aku sedang merantau di Kota Madani, sebutan bagi Kota Pekanbaru. Awalnya kota ini memiliki julukan Kota Bertuah. Dengan alasan agar menjadi lebih luas daripada gelar bertuah. Julukan baru
ini bermakna kota yang berisikan masyarakat agamis dan berperadaban,
berkualitas, dan berkemajuan.
Di kota berasap ini aku tinggal dua bulan jalan. Iya kota
berasap. Hampir setiap pagi awan cerah tidak terlihat. Hanya dapat menyaksikan
asap tipis yang sekilas tidak terasa baunya. Tapi kalau menjemur baju dari pagi
sampe sore, di situlah kita bisa merasakan bahwa asap yang setiap hari dihirup
itu berbau. Karena itu juga, kami di sini banyak berdoa meminta hujan pada sang
pencipta. Begitu pula ketika kami melakukan shalat Idul Adha bersama di Masjid
Agung An-Nur. Saat Bapak Gubernur menyampaikan sambutannya, disisipkan
satu ajakan untuk berdoa meminta hujan. Dengan kehendak Sang Pencipta, hari
Senin dan Selasa pagi, Kota Madani ini turun hujan. Inilah pertama kalinya aku
merasakan hujan turun di siang hari. Sebenarnya pernah hujan turun satu kali
tetapi aku tidak merasakan kehadirannya karena sedang terlelap.
Sebelum mendarat di satu daerah pulau Sumatera ini,
aku udah melewati beberapa daerah. Di antaranya satu bulan di Bandung, dilanjut
dengan enam bulan di Jakarta. Di Jakarta pun hidup berpindah-pindah dikarenakan
rotasi On The Job Training yang
dilakukan berpindah-pindah ke beberapa kantor yang ada di daerah ibu kota
selama dua minggu. Dengan begitu, aku dapat mengenal sedikit mengenai daerah
Jakarta Timur, Pusat, dan Selatan.
Hidup jauh dari keluarga memaksa aku untuk hidup lebih
dewasa. Jika sebelumnya aku makan sudah disiapkan di meja makan, aku sakit
sudah disiapkan untuk diperiksa, aku butuh uang sudah disiapkan orang tua. Berbeda
dengan hidup merantau seorang diri. Awalnya sulit bagi anak sedang menuju
dewasa ini untuk hidup sendiri. Qodarullah ada teman-teman yang selalu bersama.
Alhamdulillah.
Komentar
Posting Komentar